Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image FENDI AGUS SYAPUTRA, M.Sos

Kebebasan Berbicara, Media Sosial, dan Pudarnya Otoritas Ilmu.

Pendidikan dan Literasi | 2025-03-06 12:33:39

Hak kebebasan berbicara yang terbuka sejak peristiwa reformasi. Membuat siapapun memiliki hak untuk berpendapat dan menyampaikan pendapatnya di ruang publik. Tak dibatasi oleh latar belakang profesi, agama, suku, termasuk latar belakang keahlian dan keilmuan. Semuanya memiliki hak yang sama untuk berpendapat. Bahkan hak ini ditegaskan dan dilindungi oleh negara melalui UUD 1945 Pasal 28E ayat 3 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Tentu hal ini membuat banyak orang termasuk pengguna media sosial untuk mengungkapkan pandangannya dalam berbagai kesempatan.

Hak kebebasan berbicara ini semakin mendapatkan tempat dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Internet yang bisa dinikmati hampir oleh seluruh masyarakat dari berbagai kalangan. Siaran Pers Kominfo No.80 tahun 2024 menyatakan hasil survey APJII terlihat bahwa pada tahun 2024 pengguna internet di Indonesia sudah menyentuh angka 221 juta jiwa. Hal ini juga didukung dengan perkembangan berbagai platform media sosial yang dengan mudah diakses dan digunakan. Sebagian besar dari masyarakat setidaknya memiliki akun di salah satu platform media sosial yang di antaranya Facebook, Instagram, X, Tiktok, Youtube, dan lain-lain.

Hak kebebasan berbicara atau menyatakan pendapat yang didukung perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membuat siapapun dapat berbicara mengenai apapun. Konsekuensinya membuat bermunculannya influencer dengan ratusan ribu bahkan jutaan pengikut menjamur di berbagai media sosial. Para Influencer tersebut dengan aktif berbagi tentang pendapat mereka tentang berbagai hal seperti politik, sosial budaya, agama, kesehatan, pendidikan dan berbagai topik lainnya.

Konsekuensi lainnya adalah fenomena perang pendapat. Saya yakin dan percaya bagi kita khususnya yang aktif sebagai pengguna media sosial tak asing dengan “perang pendapat” yang terjadi antara sesama pengguna media sosial. Perang pendapat ini diwujudkan dalam berbagai bentuk, bisa saja dilakukan dengan saling menyerang melalui konten-konten yang diunggah di akun media sosial masing-masing dengan mengutarakan pendapat yang diyakini sekaligus menyerang pendapat yang berbeda dengan keyakinannya. Kolom komentar unggahan-unggahan di media sosial juga dapat menjadi tempat perang komentar terjadi. Sering kita temui kolom komentar yang penuh dengan perdebatan mengenai topik yang diunggah oleh suatu akun yang kemudian menjadi arena perang pendapat tadi.

Sumber: Pikbest.com

Hak kebebasan berbicara tentu memiliki banyak aspek positif, Namun, di lain sisi juga tersimpan aspek negatif dari hak kebebasan berbicara ini. Hak kebebasan berbicara ini membuat siapapun dapat berpendapat mengenai apapun yang dia inginkan. Tak ada batasan yang menjadi syarat untuk mengungkapkan sesuatu, salah satunya yang diabaikan adalah latar belakang kepakaran dan keilmuan.

Saat ini banyak orang berpendapat mengenai suatu topik yang sebenarnya berada di luar kepakaran dan keilmuan yang dia kuasai. Berbekal kemampuan pengambilan gambar atau video, kemampuan editing dan kemampuan public speaking membuat pendapat yang dikeluarkan seolah-olah benar. Hal ini membuat kesulitan untuk menakar tingkat kebenaran pendapat yang disampaikan. Dan tak jarang pendapat tersebut berlawanan dengan pendapat dari para ahli yang memiliki kepakaran mengenai topik yang dibahasan tersebut.

Konsekuensi lainnya adalah terjadinya pergeseran standar kebenaran yang menjadi acuan dalam menerima pendapat. Jika dulunya kepakaran dan keahlian dalam bidang tertentu begitu dihormati dan menjadi tolak ukur sebuah pendapat dapat diterima. Maka hari ini terjadi pergeseran yang signifikan, para pengguna media sosial tak lagi mementingkan latar belakang kepakaran dan keahlian dari orang yang menyampaikan pendapat. Tolak ukurnya bergeser menjadi jumlah pengikut di akun orang tersebut dan kemampuannya dalam menyampaikan pendapatnya. Seringkali dalam pembahasan mengenai topik tertentu pendapat seorang influencer dengan ratusan ribu bahkan jutaan pengikut lebih didengarkan dan dipercaya daripada pendapat seorang doktor yang menguasai topik tersebut.

Perlu diingat bahwa pergeseran tolak ukur dalam menilai kebenaran suatu pendapat tersebut dan memicu berbagai hal. Pertama, terjadi kebingungan dalam menentukan mana pendapat yang akan diterima dan mana yang akan ditolak. Tolak ukur yang bergeser membuat kabur batas mana yang benar dan mana yang salah, membuat bingung pendapat mana yang akan didengarkan. Kedua, dapat memicu kegaduhan. Harus disadari bahwa pendapat yang diterima dan dianggap benar akan berlanjut dalam tindakan. Tindakan paling minimal adalah ikut menyebarluaskan pendapat tersebut. Tindakan lainnya menjadikan pendapat tersebut sebagai dasar dalam keseharian. Ketiga, dapat mengganggu diseminasi dan implementasi kebijakan tertentu. Hal itu dikarenakan jika influencer yang mereka ikuti menolak, maka mereka akan ikut untuk menolak, walaupun mereka sendiri belum mengkaji secara menyeluruh mengenai kebijakan tersebut.

Kebebasan berbicara adalah hal yang baik dan harus dipertahankan. Namun, terdapat pekerjaan rumah bagi semua pihak untuk membangun kesadaran bahwa siapapun boleh berpendapat tapi harus dipahami bahwa kebebasan berpendapat itu bukan berarti asal berpendapat yang dapat memicu kegaduhan. Masyarakat kita perlu menyadari bahwa ketenaran sejatinya tidak dapat dijadikan tolak ukur dalam menerima kebenaran. Keahlian seseorang dalam bidang tertentu haruslah menjadi pertimbangan untuk kita dengarkan pendapatnya. Jangan biarkan kita justru dikendalikan oleh orang-orang yang bersuara hanya bermodalkan popularitas di media sosial. Otoritas keilmuan harus menjadi tolak ukur utama dalam kita mendengarkan suatu narasi yang disebarkan. Cukup ahli agama yang bicara agama, keahlian yang didapatkan dengan pendidikan bukan dengan ketenaran atau garis keturunan. Cukuplah ahli kesehatan yang bicara soal kesehatan, jangan justru seseorang yang bahkan tak menempuh pendidikan kesehatan yang lebih didengarkan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image